Belajar Menjadi Pekerja Berintegritas dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam.

Bagikan

Inilah bahan belajar spirit integritas bagi pekerja dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Mari belajar menjadi pekerja berintegritas dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Bekerja merupakan aktivitas yang mulia. Tidak hanya dalam perspektif sosial dan ekonomi, tetapi agama pun memandang bekerja sebagai aktivitas yang mengandung banyak kemuliaan jika dilaksanakan sesuai dengan tuntunan agama.

Dalam bekerja, seseorang diharapkan mematuhi peraturan, etika dan moral yang berlaku. Seorang pekerja yang memiliki kepatuhan terhadap peraturan, etika dan moral sering disebut pekerja yang berintegritas.

Secara bahasa, integritas dapat berarti kejujuran, ketulusan, kepatuhan dan moralitas. Integritas sendiri adalah suatu konsep yang berkaitan dengan konsistensi antara tindakan-tindakan, nilai-nilai, metode-metode, ukuran-ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi dan berbagai hal yang dihasilkan. Orang berintegritas berarti memiliki pribadi yang jujur dan memiliki karakter kuat.

Definisi Integritas dalam Literatur Islam

Dalam bahasa Arab, integritas sepadan dengan kata al-nazahah. Dalam kamus, nazahah berarti jauh dari yang buruk. Tanazzuh berarti perilaku menjauhi keburukan. Secara istilah, Imam Al-Jurjani (w. 816 H.) mendefinsikan nazahah sebagai berikut,

النزاهة هي عبارة عن اكتساب مال من غير مهانة ولا ظلم إلى الغير

Nazahah adalah ungkapan untuk menyebut aktivitas bekerja mencari harta tanpa kehinaan dan kezaliman kepada pihak lain (Al-Ta’rifat, hlm. 240)

Hampir mirip dengan definisi Al-Jurjani, Imam Al-Munawi (w. 1031 H.) menambahkan,

النَّزَاهَة اكتساب المال من غير مَهَانة، ولا ظُلْم، وإنفاقه في المصارف الحميدة

Nazahah adalah bekerja mencari harta tanpa kehinaan dan kezaliman, dan menggunakannya untuk kebaikan. (Al-Tauqif, hlm. 323)

Dalam kitab lain, Imam Al-Munawi mengartikan nazahah dengan pengertian lebih umum, yaitu;

والنزاهة البعد عن السوء

Nazahah adalah menjauhi keburukan (Faidhul Qadir Syarah Jami’ Al-Shaghir, jilid 3, hlm. 269)

Sampai di sini, kiranya cukup jelas bahwa integritas atau nazahah dalam perspektif ulama Islam adalah bekerja secara baik, menjauhi kehinaan dan kezaliman kepada pihak lain, dan menggunakan hasil kerja untuk tujuan yang baik.

Integritas dalam Al-Quran

Allah SWT berfirman,

 وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ ]المدَّثر: 4[

Dan bajumu, sucikanlah (Qs. Al-Muddatsir: 4)

Imam Ibnu Abdil Barr menjelaskan bahwa maksud dari mensucikan baju adalah mensucikan segala yang ada dalam diri kita. Beliau menulis,

من أنَّها طهارة القلب، وطهارة الجيب، ونزاهة الـنَّفْس عن الدَّنايا والآثام والذُّنوب

Maksud thaharah (suci) adalah suci hati, suci pakaian, dan suci diri dari kehinaan, salah dan dosa. (Al-Istidzkar, jilid 1, hlm. 333).

Menjaga diri dari kehinaan, salah dan dosa harus diterapkan dalam berbagai dimensi kehidupan. Salah satu dimensi kehidupan paling penting adalah dalam dunia kerja. Dunia kerja sangat membutuhkan kesucian batin dan perilaku para pekerja. Dengan menjaga diri dari kehinaan, kesalahan dan dosa dalam dunia kerja, berarti kita telah menjalankan perintah Allah SWT. Menjalankan perintah Allah SWT adalah kewajiban bagi setiap Muslim.

Manfaat Integritas dalam Islam

Setidaknya, ada lima manfaat integritas dalam Islam.

Pertama, berintegritas dalam bekerja merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Seperti yang disebut dalam penjelasan sebelumnya, integritas merupakan bentuk menjaga diri dari kesalahan, dosa dan kehinaan dalam dunia kerja.

Kedua, integritas menjaga diri seseorang dari penyimpangan dan korupsi. Hal ini penting bukan saja karena penyimpangan dan korupsi akan merugikan secara materil terhadap perusahaan atau lembaga pemberi kerja, tetapi juga merupakan perkara yang dilarang oleh agama.

Ketiga, integritas merupakan akhlak yang dapat melahirkan akhlak baik lain seperti qanaah (mudah menerima) dan wara’ (kecenderungan menjauhi perkara yang haram). Dengan qonaah dan wara’, seseorang dapat menjaga diri dan lingkungan dari bersikap rakus yang menjadi sumber kerusakan.

Keempat, integritas dapat mendatangkan cinta Allah kepada hamba serta cinta orang lain kepada kita. Di sini, kohesi sosial dapat terbentuk. Kehidupan sosial menjadi harmonis jauh dari pertentangan dan konflik.

Kelima, orang yang berintegritas telah berperilaku dengan perilaku Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebagai Muslim, kita dianjurkan untuk senantiasa meneladani perilaku Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. Meneladani Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam merupakan bentuk pelaksanaan perintah Allah dalam Al-Quran.

Praktik Integritas Ala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam merupakan teladan kebaikan (uswatun hasanah). Teladan yang diberikan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam sebenarnya merupakan nilai-nilai al-Quran yang telah tertanam dalam perilaku Nabi  Shalallahu ‘alaihi wasallam (Kana Khuluquhul Qur’an). Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah pribadi yang berintegritas, jujur, patuh, tulus dan memiliki moralitas yang tinggi.

Beliau telah menjadi pekerja selama tidak kurang dari tiga puluh tiga tahun. Selama masa itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam belajar banyak tentang kejujuran, kepatuhan, kebersihan, dan moralitas. Tuntunan integritas ala Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam meliputi dimensi mental hingga praktik. Hal ini beliau tanamkan ke dalam sanubari dan praktik para sahabatnya. Berikut adalah beberapa contoh cara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menanamkan integritas dalam diri umatnya.

Menanamkan Pentingnya Niat Baik

Pertama, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menanamkan pentingnya niat baik. Karakter pekerja yang berintegritas dimulai dari dimensi paling mendasar dalam diri manusia. Hati menggerakkan orang untuk berbuat baik maupun buruk. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menekankan agar seseorang senantiasa memperhatikan isi hati dan niatnya sendiri. Sebisa mungkin hati diisi dengan niat yang baik, terutama yang bisa mendatangkan pahala di sisi Allah SWT. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

انا الاعمال با لنيات، وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Amal perbuatan sangat tergantung niatnya. Setiap orang punya niatnya sendiri. Barang siapa berhijrah untuk Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju Allah dan rasul-Nya. Barang siapa berhijrah untuk mendapat dunia yang akan diperolehnya, atau untuk perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya menuju apa yang dia niati. (HR. Al-Bukhari).

Dalam hadis ini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menekankan bahwa niat setiap orang bisa berbeda-beda. Tetapi, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memberi tuntunan, yaitu agar umatnya senantiasa berniat untuk mematuhi perintah Allah dan tuntunan rasul-Nya. Dengan demikian, orang akan mendapat pahala di sisi Allah.

Ketika seseorang bekerja, hendaknya dia berniat untuk mencari nafkah guna menghidupi keluarga. Mencari nafkah di sini harus dibingkai dalam kerangka menunaikan kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah. Dengan niat seperti ini, maka aktivitas bekerja sebenarnya bentuk ibadah kepada Allah. Yaitu melaksanakan perintah Allah.

Karena sudah diniati menjalankan perintah Allah, pelaksanaannya juga harus sesuai dengan tuntunan Allah. Dengan demikian, kita bekerja dimulai dari niat lillah dan bekerja dalam panduan tuntunan Allah. Dengan mematuhi Allah dan rasul-Nya, pekerjaan dan hasilnya, tidak hanya bernilai duniawi. Tetapi masih ada pahala ukhrawi yang menanti.

Menghindari Celah Fitnah

Kedua, Rasulullah SAW menanamkan kepada umatnya agar memahami peraturan secara jelas, serta memilih bertindak sesuai dengan peraturan guna menghindari celah fitnah yang mungkin saja terjadi di masa depan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,

ان الحلال بيِّن والحرام بيِّن، وبينهما مشتبهات، لا يعلمها كثير من النَّاس، فمن اتَّقى الشبهات استبرأ لدينه وعِرْضه

Perkara yang halal jelas, dan perkara yang haram jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar. Banyak orang yang tidak mengetahuinya. Orang yang menjaga diri dari melakukan perkara yang masih samar itu, maka dia telah membersihkan agama dan harga dirinya. (HR. Muslim)

Dalam hadis ini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengajak umatnya untuk menjauhi perkara yang dilarang (haram). Selain itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam juga mengajak umatnya untuk menghindari perkara yang belum jelas kehalalannya. Menghindari perkara yang belum jelas merupakan bentuk menjaga diri agar tidak terjatuh dalam perkara yang dilarang.

Dalam dunia kerja, ada peraturan. Mentaati peraturan, merupakan kewajiban. Namun, ada perkara yang dilarang dan ada pula perkara yang tidak dilarang, tetapi jika dibiarkan akan dapat membuat orang terjatuh dalam perkara yang dilarang. Atau setidaknya rawan dituduh melakukan perbuatan yang dilarang. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengajak umatnya untuk menghindarinya. Tidak hanya bersabda, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam juga meneladankan dalam tindakannya. Imam Al-Bukhari meriwayatkan,  

أنَّ صفيَّة –زوج النَّبي صلَّى الله عليه وسلَّم- أخبرته: أنَّها جاءت رسول الله صلى الله عليه وسلم تزوره في اعتكافه في المسجد، في العشر الأواخر من رمضان، فتحدَّثت عنده ساعة، ثمَّ قامت تَنْقلب، فقام النَّبي صلى الله عليه وسلم معها يَقْلِبها، حتى إذا بلغت باب المسجد –عند باب أمِّ سَلَمة- مرَّ رجلان من الأنصار، فسلَّما على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال لهما النَّبي صلى الله عليه وسلم: على رِسْلِكما، إنَّما هي صفيَّة بنت حُيي. فقالا: سبحان الله يا رسول الله! وكَبُر عليهما. فقال النَّبي صلى الله عليه وسلم: إنَّ الشَّيطان يبلغ من الإنسان مبلغ الدَّم، وإني خشيت أن يقذف في قلوبكما شيئًا

Shafiyah –istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, datang menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam di Masjid saat beliau iktikaf. Pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Shafiyah dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam  berbincang sebentar. Shafiyah kemudian berdiri dan ingin kembali pulang. Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam berdiri bersama Shafiyah mengantarkannya. Ketika sampai di pintu Masjid, dua orang lelaki Anshar sedang lewat. Keduanya mengucapkan salam kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. Nabi kemudia berkata, “Berhenti sebentar kalian berdua. Perempuan ini adalah Shafiyah binti Huyay.” Keduanya kemudian berkata, “Subhanallah, wahai Rasulullah! Kata-kata itu berat bagi keduanya.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setan mengalir dalam diri manusia melalui jalur darah. Saya khawatir dia menaruh sesuatu dalam hati kalian berdua.” (HR. Al-Bukhari).  

Hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam juga menanamkan ke dalam hati umatnya agar senantiasa menjauhi prasangka dengan memberikan penjelasan sebelum seseorang berfikir negatif. Hal ini agar tidak muncul kecurigaan dan tuduhan-tuduhan yang tidak benar. Dalam bekerja, menghindari perbuatan yang membuat orang curiga dan berfikiran negatif dengan bersikap tidak transparan misalnya, merupakan perkara yang penting. Seorang pekerja harus tahu aturan, memahaminya, dan menjauhi larangan-larangan serta situasi yang rentan menjadi fitnah.

Memuji Sikap Penuh Kejujuran

Ketiga, memuji perilaku berintegritas seperti jujur dan dapat dipercaya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menanamkan sikap integritas dengan cara memuji perilaku tersebut. Imam Al-Tirmidzi meriwayatkan,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: ” التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الْأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ

Dari Abu Said Al-Khudri, yang berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Pedagang yang jujur dan terpercaya bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada.” (HR. Al-Tirmidzi)

Dalam hadis ini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memuji para pedagang yang bersikap jujur dan dapat dipercaya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjanjikan orang yang jujur dan terpercaya akan masuk surga bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada. Shaduq merupakan bentuk kata yang menunjukkan arti superlatif. Artinya sangat jujur. Dari kata shaqada-yashduqu-shadiq yang berarti benar atau jujur. Shaduq berarti sangat jujur.

Al-Amin merupakan bentuk superlatif dari ma’mun. Ma’mun berarti orang yang dapat dipercaya. Amin berarti sangat bisa dipercaya. Arti “sangat” dalam kedua kata ini menunjukkan bahwa kejujuran dan keterpercayaan telah menjadi karakter pelakunya. Ia tidak hanya jujur sekali atau dua kali. Dia tidak hanya bisa dipercaya sekali atau dua kali. Tetapi keduanya sudah jujur dan bisa dipercaya berulang-kali sehingga orang merasa nyaman dan aman bersamanya. Tidak merasa akan ditipu.

Dengan memuji sikap jujur dan dapat dipercaya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengharap umatnya agar meneladani sikap tersebut. Menjadi motivasi bagi umatnya untuk senantiasa bertindak jujur dan amanah.

Memberi Ancaman Terhadap Pelanggaran Amanah

Keempat, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam memberi ancaman dan hukuman secara langsung terhadap pelaku kecurangan. Ada beberapa model ancaman terhadap pelaku pelanggaran amanah. Salah satunya, bila penghasilan dari praktik yang tidak amanah digunakan bersedekah, Allah tidak akan menerima sedekah tersebut. Imam Al-Tirmidzi meriwayatkan,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: “لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

Dari Ibnu Umar dari Nabi yang bersabda, “Shalat tanpa bersuci tidak diterima, begitu pula sedekah dari korupsi.” (HR. Tirmidzi).

Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengakui orang yang melakukan praktik penipuan sebagai bagian dari umatnya. Imam Ibnu Majar meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

Barang siapa menipu umat kami, maka dia bukan golongan kami (HR. Ibnu Majah).

Bentuk hukuman untuk pelaku pelanggaran berat terhadap amanah adalah tidak dishalati oleh Nabi saat wafat. Imam Ibnu Majah meriwayatkan,

 عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، قَالَ تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنْ أَشْجَعَ بِخَيْبَرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ» فَأَنْكَرَ النَّاسُ ذَلِكَ، وَتَغَيَّرَتْ لَهُ وُجُوهُهُمْ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ قَالَ: «إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ» قَالَ زَيْدٌ: فَالْتَمَسُوا فِي مَتَاعِهِ، فَإِذَا خَرَزَاتٌ مِنْ خَرَزِ يَهُودَ، مَا تُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, seorang lelaki anggota suku Asyja’i wafat di Khaibar. Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Shalati jenazah sahabat kalian.” Orang-orang keberatan dengan sikap Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Raut muka mereka berubah masam. Ketika menyaksikan respon para sahabat yang keberatan, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. menjelaskan, “Sungguh, sahabat kalian telah korupsi dalam perjuangan di jalan Allah.” Zaid berkata, “Mereka lalu memeriksa harta benda lelaki tadi. Ternyata ditemukan kalung orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham.” (HR. Ibnu Majah).

Membuat Sistem Pengawasan dan Audit

Selain memberi ancaman dan hukuman, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam juga melakukan audit terhadap pejabat yang beliau angkat. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis,

 عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: «اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الأَسْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ، يُدْعَى ابْنَ اللُّتْبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ» , (خ)

Dari Abu Humaid Al-Sai’idi, yang berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengangkat pejabat seorang dari suku Al-Asad untuk mengurus masalah zakat Bani Sulaim. Namanya, Ibnu Latbiyyah. Ketika ia datang menghadap Nabi SAW, beliau memeriksanya.” (HR. Al-Bukhari).

Demikian ulasan tentang belajar menjadi pekerja berintegritas dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Semoga kita bisa belajar menjadi pekerja berintegritas dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Semoga kita dapat menanamkan tuntunan belajar menjadi pekerja berintegritas dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Scroll to Top